Tak hanya manusia yang memiliki silsilah keluarga. Burung pun punya. Sambil mengamati perkututnya, Winardi Sethiono menulis kitir atau silsilah. Ini bukan pekerjaan mudah mengingat perkututnya banyak.
Warga Jalan Brigjen Hassan Basry Kompleks Pondok Indah Metro Banjarmasin ini memiliki banyak perkutut karena dia juga melakukan pembibitan. Tempatnya di belakang rumah.
Ditemui pada Jumat (14/9) sore, Winardi mengatakan memiliki sejumlah kode untuk perkututnya.
Dia menunjuk seekor perkutut yang memiliki kode OPD.
Burung impor ini telah berstatus kakek.
Perkutut OPD telah dikawinkannya dengan betina berkode TOP yang didatangkan dari Jakarta.
Salah satu anak mereka adalah WINS yang diletakkan di kandang 10.
Ini sesuai dengan sebutan Winardi yakni Wins.
WINS dikawinkan dengan betina kandang 9 hingga menghasilkan perkutut kandang 10 baru.
Winardi pun menceritakan asal muasal senang perkutut hingga sekarang menjadi ekspor impor perkutut.
Pada 1989, saat masih tinggal di Jalan Kampung Melayu Banjarmasin, dia memiliki seekor perkutut.
Burung tersebut terus bunyi hingga diberi nama Kemurucut.
Winardi kemudian mencarikannya teman bisa bersahutan.
Dari situlah, dia senang mendengarkan merdunya bunyi perkutut.
Selanjutnya pengusaha advertising mulai mengikuti lomba, termasuk yang kerap diadakan pengusaha pengusaha Budi Surya.
Sejak itu pula Winardi mulai mencari perkutut impor yang bagus bunyinya.
"Bersama teman-teman saya pernah membeli perkutut di Jakarta Rp 1.250.000, kemudian dibawa ke Banjarmasin. Ternyata bunyinya bagus," katanya.
Jiwa bisnis Winardi terhadap perkutut pun muncul.
Ini melihat tingginya permintaan terhadap burung tersebut.
Dia keliling Jawa dan di Surabaya bertemu dengan pemilik perkutut top, Basuni Hasan.
Oleh Basuni, dia diperkenalkan dengan temannya, pembibit perkutut di Semarang.
Pada 1992, Winardi mulai beternak perkutut. Hasilnya dipasarkan hingga Kalteng, Kaltim dan Kalbar.
Dia bisa menjual 10 ekor sampai 60 ekor per bulan.
Harga per ekornya Rp 500 ribu, tapi untuk kualitas bagus bisa mencapai Rp 5 juta.
Krisis moneter yang terjadi pada 1996, memberikan dampak bagi usaha perkututnya.
Winardi memilih vakum dan fokus pada usaha advertising.
Pada 2010, dia mulai aktif lagi beternak perkutut mulai 12 kandang hingga kini menjadi 25 kandang.
Dua tahun setelah kembali aktif beternak perkutut, Winardi menjajaki ekspor impor perkutut ke Thailand.
Menjual perkutut ternak sendiri ke Thailand kemudian membeli perkutut Thailand untuk dijual di dalam negeri.
"Seekor perkutut Thailand sekitar 20 ribu bath atau setara Rp 8 juta. Tetapi saya menjual paling minim 50 ribu bath atau setara Rp 20 juta," jelasnya.
Penjualan per bulannya untuk pasar dalam negeri rata-rata 20 pasang, seharga Rp 1 jutaan seekor sedangkan untuk impor rata-rata tiga bulan sekali.
Tantangan paling sulit dalam beternak adalah saat pancaroba.
Banyak anak burung yang mati.
Namun demikian, Winardi yakin usaha ini bagus. Ini melihat peternak yang ada di Thailand.
"Bagi saya, beternak perkutut untuk melestarikan peninggalan leluhur bangsa Indonesia, karena perkutut yang suaranya bagus asal mulanya hidup di Indonesia," ujarnya.
Anggota Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia ini pun memberi brand perkututnya Wins Bird Farm.
Wins Bird Farm menyasar konsumen lomba dan ternak, karena bibit yang dijual kualitas lomba.
"Omsetnya tidak mesti, tetapi kalau dapat menciptakan burung yang berkualitas bagus harganya bisa ratusan juta," ungkapnya.
Seperti pada 2013, burungnya dibeli pengusaha tambang batu bara terkenal di Tapin seharga Rp 350 juta.
Pada 2016, perkutut bernama Mr Jack dibeli seorang pengusaha asal Binuang, Tapin, Rp 100 juta.
Peluang ini juga dilirik Agus Anjar Hukama warga Jalan Soetoyo S Banjarmasin.
Dia beternak perkutut mulai 1986.
Demikian pula H Abdul Ghani. Dia senang perkutut karena bunyinya yang khas.
"Beternak juga. Beli bibit bisa di Wina dan Pasuruan. Prospeknya bagus, walau sekarang sudah banyak peternak-peternak perkutut," tambahnya. (has)
sumber:tribunnews.com